Selasa, 21 April 2015

cerpen

Assalamualaikum Etos
Oleh
Satriani Syukur
            Siang yang cukup panas. Kemarau yang menyelimuti hampir enam bulan menambah udara panas kota kecil ini semakin menyengat. Tampak fatamorgana menggelombang dijalan persis ketika kita berdiri di balik api dan memandang keseberangnya.
            Jalan ini masih sama dengan jalan yang sering kulalui dua tahun lalu. Debu beterbangan mengurangi jarak pandang radius beberapa meter kedepan. Warung makan masih bertebaran di pinggir jalan dengan kesibukan pemilik yang tak terhenti pada jam makan siang seperti sekarang. Kendaraan yang lalu lalang tanpa putus makin membuat kebisingan ini seolah tidak akan berhenti sampai waktupun terhenti. Di sinilah, di kota kecil ini aku kembali untuk sebuah alasan. Bone
            Kuambil selembar tissue untuk menghalangi debu masuk saluran pernapasan. Sesekali kuanggukkan kepala pada orang yang memberi salam padaku. Cukup menyesakkan tapi keadaan inilah yang selalu kurindukan saat di perantauan. “Guntur!!” kutolehkan kepala demi mendengar suara yang baru saja memanggil namaku. “kak liem!!” sahutku seolah tak percaya. Persis diseberang jalan tempatku berdiri, seseorang yang sangat kukenal tersenyum takjub kearahku. Ekspresinya tidak bisa disembunyikan kalau dia jauh lebih tidak percaya akan keadaanku sekarang.
Seketika pikiranku melayang pada kejadian dua tahun lalu. Saat kebebasan tanpa batas menyelimutiku. Kulakukan apapun yang kusukai tanpa ada yang menghalangi gerakku, termasuk ayah dan ibuku. Bagai burung yang terbang bebas, terus kukepakkan sayap-sayap lemahku dengan penuh semangat.
“Guntur, besok saya jemput kamu di sekolah yah. Kita ada acara camping di puncak. Acaranya sampai hari minggu, kamu bisa kan? ”. suara kak liem dari seberang telepon mengajakku. Dia adalah seorang teman satu organisasi yang sudah kuanggap saudaraku. “siip.. datanglah jam 02.00 siang, aku pulang sekolah di jam itu”. Jawabku bersedia.
Semua ajakan dengan mudah kuterima. Memang, orang tuaku memberi kebebasan penuh padaku selama aku bisa menjaga diri dan tetap memperhatikan sekolahku. Seperti itulah caranya mendidikku.
Mereka tidak bisa memanjakanku dengan memberikan barang-barang mewah seperti kebanyakan gadis sesusiaku. Maklumlah, keluargaku bukanlah orang berada. Tapi mereka memberiku kebebasan untuk bertindak dan tidak pernah mengekangku. Dari cara itulah aku berkembang. Selama itu aku tidak pernah menghianati kepercayaan mereka.
Meski bebas, aku tidak pernah melakukan hal yang buruk diluar sana. Sebaris kata dari orang tua yang selalu kujadikan pegangan dalam bertindak “kami memberimu kebebasan karena kami percaya padamu”. Kata-kata inilah yang membuatku tidak bisa menghianati orang tuaku. Ketika muncul pikiran untuk berbuat menyimpang saat berada di luar sana, kalimat inilah yang akan mengingatkanku.
Guntur adalah nama pemberian dari para tukang ojeg yang sering mangkal di dermaga tempatku biasa menunggu jemputan. Nama itu disematkan lantaran tingkahku yang tidak wajar sebagai seorang gadis. Ketika teman-temanku sibuk berdandan dan bermain. Aku malah sibuk mendaki gunung, rock climbing, caving, hingga lintas alam. Aku lebih senang menjalani hidup seperti laki-laki. Bukan hanya tingkahku saja, bahkan pakaian sehari-harikupun dihitung jari yang berupa pakaian perempuan.
Kuhembuskan nafasku setelah sadar kak liem kini berdiri tepat di sampingku. Dia memandangku dengan penuh keheranan seakan-akan aku orang asing baginya. Kami memang baru bertemu kembali setelah dua tahun. Aku maklum dengan hal ini. Semua yang mengenalku tentu akan tercengang setelah melihatku sekarang. Aku seolah telah ditukar di tempatku menuntut ilmu.
Rok, jilbab panjang, kaos kaki, kini tidak pernah lepas dariku kecuali ditempat-tempat tertentu. Banyak yang mencelaku dengan penampilan ini. Tapi bagiku inilah yang benar. Seperti inilah seharusnya aku. Mereka mencela karena belum paham akan hal ini maka aku diam saja.
Jika dibilang hidayah, maka inilah hidayah yang kudapat. Aku bahkan tidak pernah bermimpi bahkan menghayalkan hal ini. Tapi Allah sudah menggariskan takdirku bahwa aku akan menjalani hidup yang seperti ini. Rasanya begitu indah dan damai. Meski kebebasanku tidak lagi seperti yang dulu.
Hidupku berubah setelah menjadi bagian dari Bastudi Etos. Disinilah perjuanganku untuk menjadi seorang akhwat di mulai. Dulu aku hanya sekedar ikut-ikutan lantaran butuh biaya kuliah. Tapi siapa sangka yang kudapat ternyata lebih dari itu. Bukan hanya biaya tapi pembinaan dan pendampingan ada disini.
Awalnya aku merasa tersiksa dengan semua peraturan yang ada disini. Semua bertentangan dengan diriku. Apa yang biasanya kulakukan tidak berlaku disini. Hidup diasrama dengan berbagai peraturan yang menempel di sana-sini. Membuatku merasa berada dalam cerita laskar pelangi yang di mana-mana tertempel tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILKI HAK” hanya saja redaksi kata-katanya berbeda. Aku terus memberontak dan ingin kembali. Tapi tangan-tangan halus terus menahanku untuk bertahan.
Butuh waktu lama untukku menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupku sekarang. Banyak hal yang baru kudapatkan disini. Tarbiyah, akhwat, ikhwan, aku baru mengenalnya sekarang. Setelah beberapa waktu ditempa dengan segala bentuk pembinaan, aku akhirnya bisa menerima sedikit demi sedikit.
Perlahan tapi pasti, kumulai merubah penampilanku. Pakaian yang kubawa dari rumah tidak layak dipakai disini karena itu bisa membawaku pada tindakan menyerupai laki-laki yang setelah ikut pembinaan baru kuketahui bahwa itu berdosa. Pakaian-pakaian itupun kusumbangkan, sedangkan aku sendiri mendapat pemberian pakaian dari sepupu yang merupakan seorang akhwat.
Hidup di Etos harus siap dengan segala konsekuensi. Segala bentuk kesibukan harus siap dijalani. Bukan hanya pembinaanya yang banyak, tapi kepanitiaan dan segala tetek bengek lainnyapun seolah mencekik. Aku yang tidak terbiasa dengan hal ini tentu merasa terbebani. Tapi disini aku belajar dewasa dan kuat.
Terkadang ketika kesibukan memuncak baik di lingkungan kampus maupun di etos, kelelahan dan kejenuhan mulai datang. Bahkan penyesalan kadang datang “kenapa aku harus memilih yang ini?”. Itu adalah pertanyaan yang kadang muncul di benakku. Bahkan pernah kulontarkan ke teman-temanku. Tapi mereka menguatkanku untuk bertahan.
Masih tergambar jelas bagaimana awal kami dipertemukan dengan teman seangkatan di Etos.  Aku hanya melihat dua orang laki-laki dan beberapa perempuan. Mereka semua berceloteh bercerita sana-sini sedangkan aku hanya diam saja memperhatikan. Aku memandangi mereka satu persatu. Dan berpikir bahwa kami datang dari daerah yang berbeda, bagaimana cara bisa akrab?. Tapi yang lebih menarik perhatianku adalah seorang wanita muda yang mendatangiku. Dia begitu anggun dengan pakaiannya yang tertutup. Dengan ramah dia memperkenalkan diri bahwa dia adalah pendamping asramaku. Terus kupandangi dia dan muali bergidik. Apakah aku juga akan memakai pakaian seperti itu?
Itulah yang kupikirkan saat awal masuk disini. Tapi ternyata pikiran semacam itu sangatlah tidak beralasan setelah tahu hakikatnya. Aku mulai berani mengukir mimpi dan harapan. Aku merasa menemukan apa yang selama ini kucari. Ruang yang terasa hampa di diriku seperti terisi oleh sesuatu yang indah.
Meskipun begitu, rasa jenuh tetap tidak bisa pergi. Bahkan ketika berada di puncak kejenuhan, perasaan ingin kembali menjalani hidup seperti dulu kadang muncul. Godaan itu tidak pernah hilang, apalagi ketika melihat teman-temanku yang dulu selalu bersamaku, aku merasa ingin kembali pada mereka. Aku merasa kalau mereka lebih mengerti  perasaanku dari pada mereka yang disini. Aku ingin bercerita, tapi disini bahkan tidak ada yang sempat untuk sekedar mendengarkan curahan hatiku. Semua sibuk dengan segala urusan hingga tidak punya waktu untuk itu.
Aku mengerti dengan semua yang terjadi. Orang harus berkompetisi untuk bertahan hidup. Hidup memang keras sehingga harus dilawan dengan penuh kesabaran. Benar yang dikatakan orang bahwa ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Dari sinilah aku belajar dewasa. Ini adalah tantangan yang harus kujalani bagaimanapun susahnya. Karena aku yakin Allah punya alasan menempatkanku disini.
“Bagaimana kabarmu Rani?”, suara kak Liem membuyarkan lamunanku.
“Eh.. baik kak. Kak Liem apa kabar?”. Aku balik bertanya
“Dua tahun baru kita bertemu, dan kau sudah banyak berubah sekarang, aku seperti melihat orang lain. Masih pantas kah kau kupanggil Guntur sekarang?”. Dia melontarkan pertanyaan sambil bercanda.
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
“Aku tetap yang kau kenal dulu kak, Panggillah aku Sri Maharani”. Aku menjawabnya kemudian.
“Baiklah Rani, lalu apa tujuan kepulanganmu ini? Bukankah kau masih kuliah?”
“Ayahku sudah lama sakit, aku harus menjenguknya”.
Kami berdua terdiam. Dari jauh kulihat kakakku datang  untuk menjemputku. Aku berdiri mengemasi barang-barangku.
“Baiklah kak, aku harus pulang. Sampai jumpa”. Aku berpamitan padanya sambil menyampirkan tas di bahu.
“iyah, sampai jumpa. Senang bertemu denganmu lagi”. Kak Liem mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Aku hanya menganggukkan kepala dan menyalaminya dari jauh. Aku tidak bisa menyentunya karena kami bukan mukhrim.
“Maafkan aku kak Liem, mungkin ini ekstrim tapi inilah yang seharusnya kulakukan. Bukannya aku sombong, tapi inilah yang harus kulakukan sebagai seorang muslimah. Suatu saat kau pasti mengerti. Ayah, ibu, tunggulah anakmu ini. Aku hanya ingin pulang memelukmu sekarang dan berkata bahwa harapan dan mimpi itu masih ada jadi tetaplah doakan yang terbaik untuk anakmu ini”. Gumamku dalam hati. Setitik air jatuh membasahi jilbab yang kukenakan.

Kulangkahkan kaki mendekati sungai untuk naik ke perahu. Selanjutnya perahu ini pun membawaku menuju tempat terindah dalam hidupku. Kampung halaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar