Senin, 16 Maret 2015

cerpen

Tak Seindah Kemilau Pantai Losari
Oleh Satriani
Hening malam, ditemani rintik hujan dan suara katak yang bersahutan dibalik rumpun ilalang yang tumbuh liar dibelakang pondok kecil tempatku kini bernaung. Dipinggiran kota metropolis inilah aku tinggal mengadu nasib berjuang melawan segala bentuk kekerasan hidup yang telah menempaku hampir tiga tahun terakhir.

Kutatap atap rumbia yang kuyup disiram hujan sejak matahari terbenam. Suara bising air yang jatuh menimpa atap, memberi irama tersendiri ditelingaku yang sudah lama berkelut dengan suara bising sekitar. Aku suka ketika hujan turun karena disaat itulah hatiku sejuk seolah basah tersiram hujan. Rinainya membuat pikiran terbang membawaku pada kenangan indah di masa silam saat tinggal bersama orang-orang yang kucintai di kota kecilku, Makassar

Sejenak pikiranku melayang pada kejadian tiga tahun lalu. Kejadian yang membuatku menyesal karena terlalu terobsesi akan kemewahan. Yaitu saat kugadaikan masa depanku pada seseorang yang kuanggap akan memberiku kehidupan yang lebih baik.

Sore itu suasana pantai Losari masih tetap pada kesyahduannya. Kemilau Matahari  yang tinggal sepenggalah sinarnya menambah keromantisan suasana pantai indah di kota kecil ini.

“besok aku akan berangkat ke Jakarta, apa kamu sudah siap  Rani?” Tanya Herman diantara debur ombak yang bergemuruh

“sebenarnya aku masih ragu Man” ungkapku

“apalagi yang kamu ragukan Rani? Bukannya aku sudah bilang kalau disana itu segalanya telah kusediakan. Kamu tinggal ikut denganku dan kita akan hidup bersama”. Tambahnya berusaha meyakinkanku.

“aku sangat ingin ikut denganmu. Tapi aku tidak yakin ibu bakal setuju”. Kataku

“pokoknya disana itu sudah ada rumah untuk kita tinggali setelah menikah, aku juga sudah dapatkan pekerjaan yang cocok untuk kamu. Aku jamin kamu tidak akan menyesal ikut denganku”. Ungkapnya lagi berusaha meyakinkanku.

Kemilau pantai Losari perlahan tertutup senja yang datang menyelimuti. Obrolanku dengan Herman kuteruskan pada pembicaraanku dengan keluarga malam itu.

“Ibu melakukan ini demi kebaikanmu nak”. Dengan lembut ibu membujuk

“Tapi ini tidak adil Bu”. Mataku mulai panas dan mengembang

“Apanya yang tidak adil? Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau Ibu yang menentukan dengan siapa kau bersanding nantinya”. Suara ibu mulai meninggi

“setidaknya ibu bisa memilih laki-laki yang sesuai dengan Rani Bu. Tapi dia sama sekali bukan tipeku, Rani tidak suka dengan orang yang kerjanya di mesjid setiap hari. Memangnya dia mau kasi  makan anak dan istrinya dengan tasbih, alquran atau sajadah?” kini suaraku mengema memenuhi langit-langit kamar tempatku berdebat dengan ibu yang ingin menikahkanku dengan seorang laki-laki pilihannya.

Sepertinya ibu terpukul mendengarnya tapi tetap tidak mau kalah.

“lalu laki-laki idamanmu itu seperti Herman yang manajer pemasaran itu? Yang kaya tapi beda agama?”. Ibu masih ngotot

“setidaknya masa depannya cerah, punya uang yang banyak dan bisa menafkahi keluarga. Yang terpenting kami saling mencintai. Masalah dia beda agama dengan kita itu bisa diatur setelah menikah”. Aku membela Herman

“Rani, pikirkan dulu baik-baik nak, ibu tidak ingin kamu menyesal nantinya. Ibu tidak bisa merestui hubungan beda agama kalian”. Ibu membujuk

“pokoknya Rani tidak akan menikah selain dengan Herman’’. Aku tetap bersikeras 

“ibu tidak bisa membiarkanmu hidup dengan laki-laki yang tidak jelas itu nak”. Dengan halus ibu membujuk

“tidak jelas apanya bu? Herman itu seorang manajer dan hidupnya sudah mapan bahkan dia sudah menyiapkan rumah yang mewah untukku.” Aku masih berusaha meyakinkan ibu

“pokoknya ibu tidak bisa nak. Ibu memang tidak mampu memberimu kemewahan seperti keinginanmu, tapi ibu juga tidak bisa membiarkanmu mengikuti laki-laki yang baru kau kenal yang menjanjikanmu semua itu.” Ibu berkata sambil berdiri dan meninggalkaknku di ruang tengah

Akhirnya malam itu kuputuskan lari bersama Herman untuk meraih impianku hidup bersama orang yang akan memberiku hidup yang penuh kemewahan daripada tetap menjadi nelayan di sini. Dengan berurai air mata, kukemasi barang-barang dan secara diam-diam keluar lewat jendela kamarku untuk menemui Herman yang sudah menungguku di pinggir Pantai. Rencananya malam ini kami berangkat ke Jakarta.

Suara guruh menyentakkanku dari lamunan. Air mataku menetes saat kusadari bahwa kini hidupku jauh dari yang kuimpikan. Istana yang kubayangkan dan pekerjaan yang kuinginkan ternyata hanya angan-angan. Disini aku hanyalah seorang buruh kasar di salah satu pabrik meubel di Jakarta yang bertahan hidup dengan gaji kecil yang kuterima tiap harinya dan tinggal di perumahan kumuh di pondok kecil yang selalu bocor saat hujan.

Aku tinggal meratapi nasibku karena percaya pada seseorang yang baru beberapa bulan kukenal. Herman yang kuanggap malaikat ternyata hanya seorang pengedar narkoba yang berkedok pegawai bank yang kini jadi buronan polisi. Pekerjaan yang dijanjikan padaku sebagai pegawai disebuah butik ternyata palsu. Dia memanfatkanku untuk menjaga barang haram milik Bandar yang disembunyikan diantara pakaian. Bahkan Herman meninggalkanku sebelum kami sempat  menikah.

Kemilau pantai Losari masih sama dengan yang dulu saat aku masih bergelut di pantai bersama ibu menyiangi rumput laut yang diambil bapak dan saat terakhir aku menikmati kesyahduannya sebelum meninggalkan kota kecilku. Kemilaunya kini hanya bisa kubayangkan di antara suara bising kendaraan dan mesin pabrik serta tetesan air hujan yang menemaniku menjalani hari-hari terberatku. Karena pantang bagiku untuk kembali ke kampung halaman yang telah kutorehkan sebuah tinta hitam akibat obsesi buta. Entah kapan semua akan berakhir.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar