Assalamualaikum
Etos
Oleh
Satriani
Syukur
Siang yang cukup panas. Kemarau yang menyelimuti hampir
enam bulan menambah udara panas kota kecil ini semakin menyengat. Tampak
fatamorgana menggelombang dijalan persis ketika kita berdiri di balik api dan memandang
keseberangnya.
Jalan ini masih sama dengan jalan yang sering kulalui dua
tahun lalu. Debu beterbangan mengurangi jarak pandang radius beberapa meter
kedepan. Warung makan masih bertebaran di pinggir jalan dengan kesibukan
pemilik yang tak terhenti pada jam makan siang seperti sekarang. Kendaraan yang
lalu lalang tanpa putus makin membuat kebisingan ini seolah tidak akan berhenti
sampai waktupun terhenti. Di sinilah, di kota kecil ini aku kembali untuk
sebuah alasan. Bone
Kuambil selembar tissue untuk menghalangi debu masuk
saluran pernapasan. Sesekali kuanggukkan kepala pada orang yang memberi salam
padaku. Cukup menyesakkan tapi keadaan inilah yang selalu kurindukan saat di
perantauan. “Guntur!!” kutolehkan kepala demi mendengar suara yang baru saja
memanggil namaku. “kak liem!!” sahutku seolah tak percaya. Persis diseberang
jalan tempatku berdiri, seseorang yang sangat kukenal tersenyum takjub
kearahku. Ekspresinya tidak bisa disembunyikan kalau dia jauh lebih tidak
percaya akan keadaanku sekarang.
Seketika
pikiranku melayang pada kejadian dua tahun lalu. Saat kebebasan tanpa batas
menyelimutiku. Kulakukan apapun yang kusukai tanpa ada yang menghalangi gerakku,
termasuk ayah dan ibuku. Bagai burung yang terbang bebas, terus kukepakkan
sayap-sayap lemahku dengan penuh semangat.
“Guntur,
besok saya jemput kamu di sekolah yah. Kita ada acara camping di puncak.
Acaranya sampai hari minggu, kamu bisa kan? ”. suara kak liem dari seberang
telepon mengajakku. Dia adalah seorang teman satu organisasi yang sudah
kuanggap saudaraku. “siip.. datanglah jam 02.00 siang, aku pulang sekolah di
jam itu”. Jawabku bersedia.
Semua
ajakan dengan mudah kuterima. Memang, orang tuaku memberi kebebasan penuh
padaku selama aku bisa menjaga diri dan tetap memperhatikan sekolahku. Seperti
itulah caranya mendidikku.
Mereka
tidak bisa memanjakanku dengan memberikan barang-barang mewah seperti
kebanyakan gadis sesusiaku. Maklumlah, keluargaku bukanlah orang berada. Tapi
mereka memberiku kebebasan untuk bertindak dan tidak pernah mengekangku. Dari
cara itulah aku berkembang. Selama itu aku tidak pernah menghianati kepercayaan
mereka.
Meski
bebas, aku tidak pernah melakukan hal yang buruk diluar sana. Sebaris kata dari
orang tua yang selalu kujadikan pegangan dalam bertindak “kami memberimu kebebasan
karena kami percaya padamu”. Kata-kata inilah yang membuatku tidak bisa
menghianati orang tuaku. Ketika muncul pikiran untuk berbuat menyimpang saat
berada di luar sana, kalimat inilah yang akan mengingatkanku.
Guntur
adalah nama pemberian dari para tukang ojeg yang sering mangkal di dermaga
tempatku biasa menunggu jemputan. Nama itu disematkan lantaran tingkahku yang
tidak wajar sebagai seorang gadis. Ketika teman-temanku sibuk berdandan dan
bermain. Aku malah sibuk mendaki gunung, rock climbing, caving, hingga lintas
alam. Aku lebih senang menjalani hidup seperti laki-laki. Bukan hanya tingkahku
saja, bahkan pakaian sehari-harikupun dihitung jari yang berupa pakaian
perempuan.
Kuhembuskan
nafasku setelah sadar kak liem kini berdiri tepat di sampingku. Dia memandangku
dengan penuh keheranan seakan-akan aku orang asing baginya. Kami memang baru
bertemu kembali setelah dua tahun. Aku maklum dengan hal ini. Semua yang
mengenalku tentu akan tercengang setelah melihatku sekarang. Aku seolah telah
ditukar di tempatku menuntut ilmu.
Rok,
jilbab panjang, kaos kaki, kini tidak pernah lepas dariku kecuali
ditempat-tempat tertentu. Banyak yang mencelaku dengan penampilan ini. Tapi
bagiku inilah yang benar. Seperti inilah seharusnya aku. Mereka mencela karena
belum paham akan hal ini maka aku diam saja.
Jika
dibilang hidayah, maka inilah hidayah yang kudapat. Aku bahkan tidak pernah
bermimpi bahkan menghayalkan hal ini. Tapi Allah sudah menggariskan takdirku
bahwa aku akan menjalani hidup yang seperti ini. Rasanya begitu indah dan
damai. Meski kebebasanku tidak lagi seperti yang dulu.
Hidupku
berubah setelah menjadi bagian dari Bastudi Etos. Disinilah perjuanganku untuk
menjadi seorang akhwat di mulai. Dulu aku hanya sekedar ikut-ikutan lantaran butuh
biaya kuliah. Tapi siapa sangka yang kudapat ternyata lebih dari itu. Bukan
hanya biaya tapi pembinaan dan pendampingan ada disini.
Awalnya
aku merasa tersiksa dengan semua peraturan yang ada disini. Semua bertentangan
dengan diriku. Apa yang biasanya kulakukan tidak berlaku disini. Hidup diasrama
dengan berbagai peraturan yang menempel di sana-sini. Membuatku merasa berada
dalam cerita laskar pelangi yang di mana-mana tertempel tulisan “DILARANG MASUK
BAGI YANG TIDAK MEMILKI HAK” hanya saja redaksi kata-katanya berbeda. Aku terus
memberontak dan ingin kembali. Tapi tangan-tangan halus terus menahanku untuk
bertahan.
Butuh
waktu lama untukku menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupku sekarang. Banyak
hal yang baru kudapatkan disini. Tarbiyah, akhwat, ikhwan, aku baru mengenalnya
sekarang. Setelah beberapa waktu ditempa dengan segala bentuk pembinaan, aku
akhirnya bisa menerima sedikit demi sedikit.
Perlahan
tapi pasti, kumulai merubah penampilanku. Pakaian yang kubawa dari rumah tidak
layak dipakai disini karena itu bisa membawaku pada tindakan menyerupai
laki-laki yang setelah ikut pembinaan baru kuketahui bahwa itu berdosa.
Pakaian-pakaian itupun kusumbangkan, sedangkan aku sendiri mendapat pemberian
pakaian dari sepupu yang merupakan seorang akhwat.
Hidup
di Etos harus siap dengan segala konsekuensi. Segala bentuk kesibukan harus
siap dijalani. Bukan hanya pembinaanya yang banyak, tapi kepanitiaan dan segala
tetek bengek lainnyapun seolah mencekik. Aku yang tidak terbiasa dengan hal ini
tentu merasa terbebani. Tapi disini aku belajar dewasa dan kuat.
Terkadang
ketika kesibukan memuncak baik di lingkungan kampus maupun di etos, kelelahan
dan kejenuhan mulai datang. Bahkan penyesalan kadang datang “kenapa aku harus
memilih yang ini?”. Itu adalah pertanyaan yang kadang muncul di benakku. Bahkan
pernah kulontarkan ke teman-temanku. Tapi mereka menguatkanku untuk bertahan.
Masih
tergambar jelas bagaimana awal kami dipertemukan dengan teman seangkatan di
Etos. Aku hanya melihat dua orang
laki-laki dan beberapa perempuan. Mereka semua berceloteh bercerita sana-sini
sedangkan aku hanya diam saja memperhatikan. Aku memandangi mereka satu
persatu. Dan berpikir bahwa kami datang dari daerah yang berbeda, bagaimana
cara bisa akrab?. Tapi yang lebih menarik perhatianku adalah seorang wanita
muda yang mendatangiku. Dia begitu anggun dengan pakaiannya yang tertutup.
Dengan ramah dia memperkenalkan diri bahwa dia adalah pendamping asramaku.
Terus kupandangi dia dan muali bergidik. Apakah aku juga akan memakai pakaian
seperti itu?
Itulah
yang kupikirkan saat awal masuk disini. Tapi ternyata pikiran semacam itu
sangatlah tidak beralasan setelah tahu hakikatnya. Aku mulai berani mengukir
mimpi dan harapan. Aku merasa menemukan apa yang selama ini kucari. Ruang yang
terasa hampa di diriku seperti terisi oleh sesuatu yang indah.
Meskipun
begitu, rasa jenuh tetap tidak bisa pergi. Bahkan ketika berada di puncak
kejenuhan, perasaan ingin kembali menjalani hidup seperti dulu kadang muncul.
Godaan itu tidak pernah hilang, apalagi ketika melihat teman-temanku yang dulu
selalu bersamaku, aku merasa ingin kembali pada mereka. Aku merasa kalau mereka
lebih mengerti perasaanku dari pada
mereka yang disini. Aku ingin bercerita, tapi disini bahkan tidak ada yang
sempat untuk sekedar mendengarkan curahan hatiku. Semua sibuk dengan segala
urusan hingga tidak punya waktu untuk itu.
Aku
mengerti dengan semua yang terjadi. Orang harus berkompetisi untuk bertahan
hidup. Hidup memang keras sehingga harus dilawan dengan penuh kesabaran. Benar yang
dikatakan orang bahwa ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Dari sinilah aku
belajar dewasa. Ini adalah tantangan yang harus kujalani bagaimanapun susahnya.
Karena aku yakin Allah punya alasan menempatkanku disini.
“Bagaimana
kabarmu Rani?”, suara kak Liem membuyarkan lamunanku.
“Eh..
baik kak. Kak Liem apa kabar?”. Aku balik bertanya
“Dua
tahun baru kita bertemu, dan kau sudah banyak berubah sekarang, aku seperti
melihat orang lain. Masih pantas kah kau kupanggil Guntur sekarang?”. Dia
melontarkan pertanyaan sambil bercanda.
Aku
hanya tersenyum menanggapinya.
“Aku
tetap yang kau kenal dulu kak, Panggillah aku Sri Maharani”. Aku menjawabnya
kemudian.
“Baiklah
Rani, lalu apa tujuan kepulanganmu ini? Bukankah kau masih kuliah?”
“Ayahku
sudah lama sakit, aku harus menjenguknya”.
Kami
berdua terdiam. Dari jauh kulihat kakakku datang untuk menjemputku. Aku berdiri mengemasi
barang-barangku.
“Baiklah
kak, aku harus pulang. Sampai jumpa”. Aku berpamitan padanya sambil
menyampirkan tas di bahu.
“iyah,
sampai jumpa. Senang bertemu denganmu lagi”. Kak Liem mengulurkan tangannya
untuk bersalaman. Aku hanya menganggukkan kepala dan menyalaminya dari jauh.
Aku tidak bisa menyentunya karena kami bukan mukhrim.
“Maafkan
aku kak Liem, mungkin ini ekstrim tapi inilah yang seharusnya kulakukan.
Bukannya aku sombong, tapi inilah yang harus kulakukan sebagai seorang
muslimah. Suatu saat kau pasti mengerti. Ayah, ibu, tunggulah anakmu ini. Aku
hanya ingin pulang memelukmu sekarang dan berkata bahwa harapan dan mimpi itu
masih ada jadi tetaplah doakan yang terbaik untuk anakmu ini”. Gumamku dalam
hati. Setitik air jatuh membasahi jilbab yang kukenakan.
Kulangkahkan
kaki mendekati sungai untuk naik ke perahu. Selanjutnya perahu ini pun
membawaku menuju tempat terindah dalam hidupku. Kampung halaman.