Tak
Seindah Kemilau Pantai Losari
Oleh
Satriani
Hening
malam, ditemani rintik hujan dan suara katak yang bersahutan dibalik rumpun
ilalang yang tumbuh liar dibelakang pondok kecil tempatku kini bernaung.
Dipinggiran kota metropolis inilah aku tinggal mengadu nasib berjuang melawan
segala bentuk kekerasan hidup yang telah menempaku hampir tiga tahun terakhir.
Kutatap
atap rumbia yang kuyup disiram hujan sejak matahari terbenam. Suara bising air
yang jatuh menimpa atap, memberi irama tersendiri ditelingaku yang sudah lama
berkelut dengan suara bising sekitar. Aku suka ketika hujan turun karena disaat
itulah hatiku sejuk seolah basah tersiram hujan. Rinainya membuat pikiran
terbang membawaku pada kenangan indah di masa silam saat tinggal bersama
orang-orang yang kucintai di kota kecilku, Makassar
Sejenak
pikiranku melayang pada kejadian tiga tahun lalu. Kejadian yang membuatku
menyesal karena terlalu terobsesi akan kemewahan. Yaitu saat kugadaikan masa
depanku pada seseorang yang kuanggap akan memberiku kehidupan yang lebih baik.
Sore itu
suasana pantai Losari masih tetap pada kesyahduannya. Kemilau Matahari yang tinggal sepenggalah sinarnya menambah
keromantisan suasana pantai indah di kota kecil ini.
“besok aku
akan berangkat ke Jakarta, apa kamu sudah siap
Rani?” Tanya Herman diantara debur ombak yang bergemuruh
“sebenarnya
aku masih ragu Man” ungkapku
“apalagi
yang kamu ragukan Rani? Bukannya aku sudah bilang kalau disana itu segalanya
telah kusediakan. Kamu tinggal ikut denganku dan kita akan hidup bersama”.
Tambahnya berusaha meyakinkanku.
“aku
sangat ingin ikut denganmu. Tapi aku tidak yakin ibu bakal setuju”. Kataku
“pokoknya
disana itu sudah ada rumah untuk kita tinggali setelah menikah, aku juga sudah
dapatkan pekerjaan yang cocok untuk kamu. Aku jamin kamu tidak akan menyesal
ikut denganku”. Ungkapnya lagi berusaha meyakinkanku.
Kemilau
pantai Losari perlahan tertutup senja yang datang menyelimuti. Obrolanku dengan
Herman kuteruskan pada pembicaraanku dengan keluarga malam itu.
“Ibu melakukan ini demi kebaikanmu
nak”. Dengan lembut ibu membujuk
“Tapi ini tidak adil Bu”. Mataku mulai
panas dan mengembang
“Apanya yang tidak adil? Bukannya kamu
sendiri yang bilang kalau Ibu yang menentukan dengan siapa kau bersanding
nantinya”. Suara ibu mulai meninggi
“setidaknya ibu bisa memilih laki-laki
yang sesuai dengan Rani Bu. Tapi dia sama sekali bukan tipeku, Rani tidak suka dengan
orang yang kerjanya di mesjid setiap hari. Memangnya dia mau kasi makan anak dan istrinya dengan tasbih,
alquran atau sajadah?” kini suaraku mengema memenuhi langit-langit kamar
tempatku berdebat dengan ibu yang ingin menikahkanku dengan seorang laki-laki
pilihannya.
Sepertinya ibu terpukul mendengarnya
tapi tetap tidak mau kalah.
“lalu laki-laki idamanmu itu seperti
Herman yang manajer pemasaran itu? Yang kaya tapi beda agama?”. Ibu masih ngotot
“setidaknya masa depannya cerah, punya uang
yang banyak dan bisa menafkahi keluarga. Yang terpenting kami saling mencintai.
Masalah dia beda agama dengan kita itu bisa diatur setelah menikah”. Aku membela Herman
“Rani, pikirkan dulu baik-baik nak,
ibu tidak ingin kamu menyesal nantinya. Ibu tidak bisa merestui hubungan beda
agama kalian”. Ibu membujuk
“pokoknya Rani tidak akan menikah
selain dengan Herman’’. Aku tetap bersikeras
“ibu tidak
bisa membiarkanmu hidup dengan laki-laki yang tidak jelas itu nak”. Dengan
halus ibu membujuk
“tidak
jelas apanya bu? Herman itu seorang manajer dan hidupnya sudah mapan bahkan dia
sudah menyiapkan rumah yang mewah untukku.” Aku masih berusaha meyakinkan ibu
“pokoknya
ibu tidak bisa nak. Ibu memang tidak mampu memberimu kemewahan seperti
keinginanmu, tapi ibu juga tidak bisa membiarkanmu mengikuti laki-laki yang
baru kau kenal yang menjanjikanmu semua itu.” Ibu berkata sambil berdiri dan meninggalkaknku
di ruang tengah
Akhirnya malam itu kuputuskan lari bersama
Herman untuk meraih impianku hidup bersama orang yang akan memberiku hidup yang
penuh kemewahan daripada tetap menjadi nelayan di sini. Dengan berurai air mata, kukemasi barang-barang
dan secara diam-diam keluar lewat jendela kamarku untuk menemui Herman yang sudah
menungguku di pinggir Pantai. Rencananya malam ini kami berangkat ke Jakarta.
Suara
guruh menyentakkanku dari lamunan. Air mataku menetes saat kusadari bahwa kini
hidupku jauh dari yang kuimpikan. Istana yang kubayangkan dan pekerjaan yang
kuinginkan ternyata hanya angan-angan. Disini aku hanyalah seorang buruh kasar
di salah satu pabrik meubel di Jakarta yang bertahan hidup dengan gaji kecil
yang kuterima tiap harinya dan tinggal di perumahan kumuh di pondok kecil yang
selalu bocor saat hujan.
Aku
tinggal meratapi nasibku karena percaya pada seseorang yang baru beberapa bulan
kukenal. Herman yang kuanggap malaikat ternyata hanya seorang pengedar narkoba
yang berkedok pegawai bank yang kini jadi buronan polisi. Pekerjaan yang
dijanjikan padaku sebagai pegawai disebuah butik ternyata palsu. Dia
memanfatkanku untuk menjaga barang haram milik Bandar yang disembunyikan
diantara pakaian. Bahkan Herman meninggalkanku sebelum kami sempat menikah.
Kemilau
pantai Losari masih sama dengan yang dulu saat aku masih bergelut di pantai
bersama ibu menyiangi rumput laut yang diambil bapak dan saat terakhir aku
menikmati kesyahduannya sebelum meninggalkan kota kecilku. Kemilaunya kini
hanya bisa kubayangkan di antara suara bising kendaraan dan mesin pabrik serta
tetesan air hujan yang menemaniku menjalani hari-hari terberatku. Karena
pantang bagiku untuk kembali ke kampung halaman yang telah kutorehkan sebuah
tinta hitam akibat obsesi buta. Entah kapan semua akan berakhir.